“Belom pulang?” tanya seseorang di belakangku.
“Ujan.” Jawabku tampa menoleh kepada yang bertanya.
Sore ini aku baru pulang latihan basket, well sebenarnya aku gak mau ikut ekskul tapi Ma’am Maria memasukkanku ke ekskul ini. Mungkin Ma’am Maria tidak tahu kalo aku drible bola aja ga bisa. Sebelum Reno masuk menjadi coach, belum banyak anak kelas 1 yang minat dengan basket. Sejak Reno masuk jadi coach, semua berbondong-bondong masuk. Mereka belum tau dalemnya si Reno aja. Blah.
“Yuk, pulang bareng.” Dia lalu menarik tanganku.
Sebelum aku menepis tangannya, ada seseorang datang dari belakang dan menarik tangan kiriku.
“Sorry, coach. Dia sama gue.” Kata Timo.
HA? TIMO? KOK DIA BISA ADA DISINI?
“Oh ya? Emang bener, Fra?”
Aku yang bingung mau menjawab apa hanya mengangguk tanda setuju.
“Oh gitu ya, Fra? Saya duluan deh kalo gitu.” Kata Reno dengan nada kecewa.
Sebenarnya aku jadi merasa bersalah dan gak enak sama Reno. Apalagi sekarang Timo masi menggandeng tangan kiriku.
“Lepasin tangan gue, ngapain dipegangin terus.”
“Lo yang duluan megang tangan gue ya!” Aku langsung menepis tangannya.
“Ayo cepet deh pulang! Mau gak?” tukasnya.
“GAK MAU! ORANG LO DULUAN YANG GANDENG GUE!” teriakku kesal.
“YAUDA SIH! GOSA TERIAK JUGA KALE!”
Saking kesalnya aku sama Timo hampir aku lempar tas basketku yang beratnya sepertiberas 5kg kemukanya. Gara-gara Timo dan aku teriak tadi semua orang langsung melihatku heran. Ini bukan sinetron gak mutu yang sekarang banyak di tv lokal, ini real Timo yang antagonis ada di dunia ini beneran. Seharusnya aku gak usah nolak tawaran Reno tadi. Aku berubah pikiran sekarang, se-jerknya Reno he is better than Timo.
Setelah kutinggalkan Timo sendiri, aku langsung berlali menerobos hujan menuju parkiran untuk menyusul Reno yang kurasa belum jauh. Mobil Reno masi terpakrir, kurasa dia menunggu sesuatu karena mesin mobilnya sudah hidup namun ia tidak beranjak dari situ.
“REN! Ren! Sorry gue bisa nebeng gak?”
“Sure, sini masuk aja.”
Reno membukakan pintu sebelah kiri untukku. Aku masuk dengan badan sedikit basah karena berlari menerobos hujan.
“Sorry, Ren.”
“That’s ok, Fra.”
Dia lalu menjalankan mobil keluar dari lapangan parkir Lamadie yang kurasa seluas lapangan bola ini.
“Rumah lo masi sama kan? Hahahaha.”
“Menurut lo? Hahahaha.”
“Sorry gue Cuma mau nanya. Lo sama Timo ada hubungan apa?”
“Well, dia itu sepupunya temen gue. Itu doang, gak lebih. And by the way, Giu temen gue dari club fotografi itu sebel sama lo. Dia kesel gara-gara lo suru dia lari. Hahahaha!”
“Really? Hahaha. Yauda tar lo tunjukkin dia, gue mau minta maaf deh.”
2 menit berikutnya kami hanya berdiam, suasana di mobil benar-benar menakutkan. Hujan tambah deras banyak petir dan lebih parahnya banjir. Kawasan Lamadie mugkin gak banjir, tapi jalanannya itu yang banjir. Ditambah macet ibu kota di saat hujan seperti ini bikin tambah emosi. Namun sifat Reno yang sabar belum juga berubah dari dulu. Dengan sabarnya dia mengemudikan mobil menuju rumahku. Satu jam berikutnya aku sudah ada di depan rumah.
“thank you ya, coach Reno. Hahaha”
“Anytime, Fra.”
Saat aku mau keluar dari mobilnya, sekali lagi dia menahannku. Langsung aku tepis tangannya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Hmm sorry. And Fra gue mau minta maaf.”
“Soal apa?”
“Yang lalu-lalu, gue yakin lo tau maksud gue tadi,” lanjutnya “Jadi gini,...”
“Gosa lo jelasin deh, Ren. Gue maafin kok.”
“Really?”
“Really.”
“Fra, please answer this. Do you forgive me wholeheartedly?”
“Hmm, yes.”
Sebenarnya dalam benakku sendiri aku juga masi bingung sih. Do I forgive it or just forget it? Mungkin jawabannya hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar