Senin, 28 Februari 2011

Timo's side

"I'll do anything for you." Kataku mantap, heran dapat kekuatan dari mana untuk ngomong kayak gini.

Jujur, aku senang banget. Aku mulai dekat dengan keluarga, Fra. Terutama, Mas Davis yang kayaknya tahu kalo aku ada feeling sama Fra. Dia 100% mendukung langkahku ini. Aku dan Mas Davis have a lot of things in common. Dan yang paling penting he speaks French!

Oh ya, I'm over Liz. She always love somebody else not me. Lagian, tipenya Liz tuh udah gak sesuai lagi. Tipeku, yang radikal cuek jutek suka marah tapi aslinya baik dan perhatian. Which is bisa aku lihat dari Fra.

Awalnya, aku kira Fra gak kenapa-kenapa sama orang yang ngerokok. Tapi dari yang aku lihat dimatanya dia kok jadi 100% lebih jutek dari yang ada. Sebenernya aku juga gak sering kok ngerokok, jarang malah. Sebagai atlit basket bukannya dibutuhin nafas yang panjang ya? Kalo, tipe Fra tipe anak baik-baik yang alim dan kuper I'll make myself jadi tipe dia.

Setelah, mengantarnya pulang aku pamit pulang juga. Tampang Fra udah gak enak banget. Mungkin, masih marah. Sesampainya di rumah, aku berpikir keras alasan apa yang harus aku berikan kalo mau telpon Fra.

Dengan memberanikan diri aku keluarkan bb disaku celanaku. Dering pertama, dering kedua, dering ketiga baru diangkat.

"Halo?" Sapanya dengan suara lelah.

"Hai, Fra. Gue udah sampe rumah."

"Oh."

"In case you want to know, jadi gue kasi tau."

"Oh."

Ayo cari topik, Tim! Lo pasti bisa! Kataku dalam hati.

"Ehm, udah mandi?"

"Udah, lo?"

"Belom, kan baru sampe hehe. Udah mau tidur ya?"

"Iya, about to. Until someone's annoying call me."

"Gue? Sorry, ya."

"Ehm, iya."

"Okay, selamat tidur ya. Jangan lupa minum obatnya."

"Errr, iya. Lo juga selamat tidur tapi mandi dulu."

"Bye."

"Bye."

"Eh! Fra!"

"Lo paling bisa bikin orang kaget ya! Duh!"

"Besok gue jemput ya, bye!" Kataku sambil memutuskan telpon.

Sekarang aku mandi dan tidur dulu, besok harus bangun pagi dan dandan yang bener buat jemput, Fra! Adios!

First of all, I would like to say happy birthday to Cindy Hanessa! You are officially 15!
May the happiness with you always! God bless!

As a present I want to give her and you a story from Timo's side! well, enjoy!

xoxo,

s 'fra' y

Sabtu, 26 Februari 2011

The Best of Us - Fransisca

I need my holiday. like seriously, mataku masih butuh tidur banget. rasanya badanku lagi gak bersahabat hari ini. moodku juga berantakan. dan yang lebih parah aku jadi pelupa (emang sih udah suka lupa tapi ini lebih parah lagi)

"FRA! WATCH OUT!!!!"

*bruk*

"APAAN SIH GILA YA? gapunya mata lo ha? nabrak gue?"

"Sorry, Fra. Sumpah gak sengaja."

Ha. this is the worst day ever. anak class a menabrakku and he's carrying something for chemistry laboratory. Rok seragamku basah dan kaki kiriku mulai perih. yang lebih parahnya itu adalah cairan HCl yang bersifat asam. Dengan kesal aku melangkahkan kaki ke rest room Lamadie. karena ada pecahan dari burrette yang dia bawa kaki kiriku berdarah, dan darahnya gak mau berhenti. dengan kekelsalan stadium akhir aku melangkahkan kaki ke UKS. seorang guru penjaga menghampiriku dengan wajah cemas.

"Come, fast."

"Yes, Ma'am." jawabku singkat.

"What happend?"

"nabrak anak yang bawa solution dan kayaknya ada pecahan kacanya."

"Ok, hold on. tahan sebentar, saya akan mengeluarkan pecahannya."

setelah menunggu beberapa menit dia datang membawa perlatan seperti dokter. i'm wondering kenapa Lamadie bisa punya peralatan secanggih ini. sekarang giliran aku yang deg-degan sepertinya guru penjaga ini amatrian dan gak ngerti apa-apa. dengan kasar dia menarik pecahan kaca itu, alhasil kakiku tambah berdarah.

"udah deh ma'am. i'm going to hospital." aku mengambil bbku di saku celana.

"Halo Mas Davis? bisa jemput ga? sekarang. ada orang nabrak aku terus kakiku kena pecahan kaca. harus ke rumah sakit sekarang juga.parah nih."

"Parah? Banget? Gue minta Timo anter lo sekarang karena gue lagi di bakery nih bantuin bunda, gue secepatnya ke rumah sakit oke. take care."

"Halo? MAS? MAS?"

Sial! Dimatiin telponnya, gak berapa lama si Timoleon udah menghampiriku di ruang UKS.

“Hei, kata Mas Davis lo sakit? Ayo gue anter ke rumah sakit.” Tanpa mendengar balasanku dia menggengam tanganku dan menaikkanku ke pundaknya. Aku berusaha menepis namun tangannya mencengkram tanganku keras.

“Gausah berontak, dari pada kaki lo cedera lebih jauh. Mending malu deh, ini juga gue malu diliatin satu sekolah.”

“Ya makanya, lo lari cepet.”

Gak berapa lama, kita udah sampe di rumah sakit dan yang bikin aku tambah emosi adalah Mas Davis udah disana, which is dia ngerjain aku sebenernya dia bisa jemput aku di sekolah. Karena Ayah adalah salah satu kolega dari dokter rumah sakit ini aku didulukan. It took only 10 minutes for him to take all the glasses in my leg, tapi gara-gara ada Timo berasa jadi 10 century. God, aku jenggah banget dengan rasa cemas dan perhatian Timo. Mas Davis lagi, dia takut sama darah jadi gak bisa menemaniku.

Setelah kakiku diperban dan menebus obat untuk penghilang bekas luka, kita bertiga ke kantin rumah sakit. Aku sadar dari pagi belum makan jadi makanan rumah sakit yang yikes banget ini kerasa enak. Ditengah-tengah keasikanku makan, tiba-tiba Mas Davis pura-pura ambil bbnya dan sok-sok dipanggil Ibu ke butik untuk menjemputnya.

“Sorry lagi ya, Tim. Kayaknya lo nih yang harus anter, Fra.”

“It’s ok kok, Mas. I’ll take her.”

C'est une bonne chance pour vous. Bonne chance!1

“Haha, grĂ¢ce2

I officially lost my appetite begitu Timo membuka sebungkus rokok.

“You smoke?”

“Kalo lagi bosen. Lo mau?”

“Yaks, engga thanks. Gue duluan deh ke mobil lo disini aja deh, and please remember this is hospital YOU CAN’T SMOKE HERE.” Kataku judes sambil memberi penekanan.

Oh dear, I can’t stand it anymore. Timoleon is definitely not my type.

“Tunggu-tunggu, Fra.” Timo mengejarku keparkiran, dengan kaki yang diperban seperti ini tentunya sulit untukku lari menjauh darinya.

“apa?” kataku judes.

“Kaki lo masih sakit kan? I’ll take you a wheel chair, tunggu bentar aja.” Katanya sabar.

Dia membukakan pintu untukku dan menggendongku masuk. Aku sama sekali gak bisa berontak karena memang kakiku bener-bener sakit dan pedih. Jarak rumah sakit dan rumahku memang jauh ditambah kemacetan ibu kota dan hujan jadi tambah lama. Situasi awkward ini benar-benar bikin aku malas, lalu aku menyalakan radio dan herannya Timo juga mengerakkan tangannya ke tombol on. Dengan cepat, aku tarik tanganku dari radio.

“Ehm, sorry.” Katanya tulis.

Aku membalasnya dengan anggukan dan tetap hening lalu menatap keluar jendela.

“Fra, I’m sorry.”

“Duh, iya-iya. I forgive you.” Gah, how many times sih dia mau minta maaf?

“Bukan soal radio itu. Soal gue ngerokok.”

“Why? That’s not my business. That’s your lungs that your burn, and that’s not my money you burn.” Lanjutku “Lagian, I’m not your mom. Kalo, I’m your mom udah gue usir lo dari rumah, sakit-sakit gue ngelahirin lo, lo bakar tuh paru-paru lo.”

“Tapi..” Dia memotong.

“And I’m not your dad, kalo gue bapak lo udah gue usir lo dari rumah, susah-susah gue cari duit malah lo bakar.”

“But..” Dia memotong lagi.

“Dan juga, I’m not your girl, rajin-rajin gue ke dentist sama sikat gigi pagi-siang-malam cuman buat kiss a smoker.” Tutup pidato singkatku.

Dia tampak takjub dengan pidato singkatku, dia menoleh ke arahku lalu menatapku. Untung, ini macet.

“Ok, I stop smoking.” Katanya mantap.

“That’s your decision, I’m nothing to you.”

“Iya, I know. But, I promise you I stop smoking. I’ll do anything for you…”

1. This is a good chance. Good luck!

2. Thanks