Sabtu, 13 Agustus 2011

The Best of Us - Fransisca

Hari pertama masuk ke sekolah, hari pertama menjadi kakak kelas, dan hari pertama menyetir ke sekolah sendiri. Giu dan aku menghabiskan liburan bersama di Raja Ampat, karena kondisi kita berdua yang benar-benar lelah sehabis liburan. Kami akhirnya masuk 2 hari sesudah hari pertama murid lain. Tahun ajaran ini, aku sekelas lagi dengan Giu dan homeroom teacher kita tetap sama.

Karena telah membolos 2 hari, aku dan Giu dipanggil ke ruang principal. Untung Giu dengan muka polosnya berhasil menyakinkan kepala sekolah kalau kita berdua ada acara keluarga yang harus dihadiri. Hari ini, MOS anak kelas 1 masih berjalan. Entah kenapa, rasanya aku mau ketawa liat anak osis bentak-bentak siswa-siswi baru. Mereka itu aslinya polos dan baik. Contoh aja Daniel, cowo itu sok marahin anak kelas satu sampai anak itu nangis. Keseharian Daniel? Ngeliat kecoa aja teriak-teriak dan hampir mau nangis.

Kelas kami memang melewati lapangan. Siswa-siswi baru berjejer ‘dijemur’ oleh anak osis, menjadi pemandangan yang biasa. Beberapa hari yang lalu memang heboh di twitter anak Lamadie kalau Timo jadi ketua panitia MOS. Yang katanya gak adil, karena ketua panitia sebelumnya menunjuk Timo hanya karena dia naksir Timo bukan karena kemampuannya mengetuai MOS. Aku sih, ga terlalu perduli juga. Emang siapa aku harus ikut campur? Anak osis aja bukan.

Ketika melewati lapangan, secara tidak sengaja tatapanku dan Timo bertemu. Karena mau berbasa-basi dan sopan santun kepada Timo, yang memang kakak kelas, aku senyum untuk formalitas. Bukan membalas senyumku, Timo malah sok mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sontak, aku merasa malu dan aku sadar pipiku merah padam. Giu yang melihat kerjadian itu hanya bisa menggeleng tak mengerti.

Hari pertama juga aku melihat Timo setelah kejadian itu....

***

Lamadie memang benar-benar ga mau kasih siswa-siswi tenang sedikit saja. Seakan tidak mau kalah satu dengan yang lain, guru-guru berlomba-lomba memberikan tugas. Bel pulang sekolah disambut senyum lega dari siswa-siswi. Seakan dunia sebentar lagi akan kiamat, kami bergegas membereskan buku dimeja lalu bergegas menuju gerbang depan.

“FRAAAAA! Tau ga lo?” Kata salah satu teman sekelasku.

“Ya gatau lah. Orang lo belom ngomong ke gue. Gimana gue bisa tau sih.”

“Iya juga ya..” Sambungnya “Tapi lo harus tau!”

“Iya, iya, apa sih.” Kataku sambil memasukkan barang-barang dari meja ke tas.

“Timo jadian sama anak sepuluh dua!”

“Terus?” Kataku tak tertarik.

“Loh?! Bukannya kalian pacaran?”

“Kata siapa?” Jawabku sambil melenggang keluar kelas.

***

Entah apa yang ada dalam hatiku saat ini. Ada rasa yang sangat aneh. Aku sendiri gak bisa menggambarkannya. Apa mungkin rasa ini cemburu? Tapi kenapa aku harus cemburu? Toh, kemarin waktu dia mengutarakan perasaannya, kutolak mentah-mentah. Tapi, apa itu artinya dia cuman main-main ya? I mean like, he confessed to me tapi jadian sama orang lain? Apa itu pelarian? Apa sebenernya dia sayangnya cuma ke aku?

“Udahlah, Fra. Lo juga tau kan dari orang-orang Timo itu orangnya gimana gausa di pikirin deh!”

Karena merasa sudah terhipnotis dari kalimat itu, aku seakan tidak perduli dengan hadirnya Timo dan rumor cewe-cewe barunya di sekitarku. Ketika kita berpapasan di lorong, kantin, maupun ruang guru, aku dan dia cuma diam. Saling cuek lalu secepat mungkin berlalu dari hadapan masing-masing. Dalam kondisi sepert i ini Giu yang ada diposisi paling ga enak.

Pernah suatu hari aku dan Giu berencana pulang bareng karena aku malas bawa mobil. Tadinya Giu bilang supirnya yang akan menjemput, tapi karena satu dan lain hal Giu harus pulang bareng Timo. Karena paksaan Giu akhirnya aku terpaksa ikut mereka. Timo sama sekali ga bersuara selama perjalanan. Tapi yang sangat mengherankan dia masih inget jalan ke rumahku. Sesampainya di rumahku pun Timo turun dan pamit dengan Bunda, seolah tidak permah terjadi apa-apa.

Belakangan, nama-nama siswi anak kelas satu mendadak terkenal. Mereka digosipkan berpacaran dengan Timo. Tapi herannya setiap hari nama siswi yang digosipkan ganti. Yeah, right. The playboy senior is back, isn’t he?

Saat jam istirahat, aku dan Giu ke kantin bersama. Suasana kantin penuh sesak anak-anak yang memesan makanan. Ketika kami berdua sudah mendapatkan makanan yang di order, kami beranjak mencari tempat duduk. Namun, pandangan kami akhirnya tertuju kepada dua sejoli yang tengah bermesraan di bangku pojok kantin.

“Ra, ra.” Kata Giu sambil menarik ujung kemejaku.

“Apaan?” Kataku santai sambil duduk di bangku terdekat.

“Itu kan your Timmy!”

“Hush, ngomong jangan sembarangan. He is not mine. Cepet duduk sini, nasi ayam lo bentar lagi dingin tuh.”

Jauh di dalam hatiku perasaan aneh itu muncul lagi saat mereka berpelukan mesra. Aku langsung kehilangan napsu makan. Entah kenapa dadaku jadi sesak dan mataku panas seperti ingin menangis.

“Huh, sial banget sih masa gini doang mau nangis.” Batinku.

“Giu, kita udahan aja yuk. Gue udah kenyang banget nih.”

“Ha? Kenyang? Itu setengah aja lo belom abisin, Ra.”

“Ya tapi gue udah kenyang. Kalo lo masih laper lo disini deh gue duluan ya.” Kataku sembari beranjak dari kursi.

Saat sedang berjalan keluar dari kantin karena aku tidak terlalu melihat keadaan sekitar, aku menabrak seorang kakak kelas yang sedang mengobrol sambil membawa minum. Seketika, minum yang dibawanya tumpah mengenai baju putihnya. Sontak seluruh isi kantin menatap kami berdua.

“Lo cantik-cantik ga punya mata ya?” Teriak si kakak kelas.

“...”

“Udah buta, bisu lagi. Ngomong apa kek.”

“Iya, sorry kak.” Kataku akhirnya.

“Lo gatau gue siapa? Anak kelas berapa sih lo?” Jawab si kakak kelas.

Seketika tenggorokanku seperti ada yang menyumbat. Si kakak kelas yang tadi aku tabrak kian mendekat, dan hampir mencengkram kemejaku. Untung ada lengan kokoh yang menangkisnya. Saat aku naikkan kepalaku, aku dapat melihat siapa pemilik lengan itu.

“Udah lah, Ne. Lo juga salah kan sambil ngobrol sama Lisa gitu.” Katanya.

“Tapi, Tim. Lo liat juga kan dia salah?”

“Ya dia salah, karena ga liat lo jalan. Tapi, lo juga salah karena ga liat dia jalan. Iya kan?” Bela Timo.

“Tapi, Tim....”

“Lo mending pergi deh. Gue kenal dia.”

Lalu si kakak kelas itu berlalu begitu saja setelah mendengar belaan Timo.

“Thanks....” Ujarku seperti berbisik.

“Iya, hati-hati lain kali...” Bisiknya, dan dia pun menghilang dari pandanganku.

***

Setelah beberapa hari setelah kejadian di kantin, sepertinya hari-hariku di Lamadie bertambah berat. Aku jadi benar-benar dimusuhi satu angkatan kelas tiga. Pernah suatu hari, ada senior cewek yang sengaja menumpahkan minumannya ke baju seragamku. Ada lagi yang sengaja menaruh kaki di jalan agar aku jatuh. Dan yang lebih parah, sekarang mereka menggambil handphoneku dan mengunciku di dalam wc belakang sekolah. Jam pulang sekolah seperti ini, memang gak banyak atau bahkan jarang ada orang yang mau lewat belakang sekolah.

At this moment, entah kenapa aku gak mau nangis, dan malah gak mau keluar. Kulirik jamku sekali lagi ini lewat dari jam 5 sore kemungkinan semua murid sudah pulang. Sudah lebih dari dua jam mereka mengunciku disini. Mungkin sampai besok pagi aku akan ada disini, sampai office boy sekolah membersihkan wc ini.

Karena sudah malam, makin lama suasana di wc makin mencengkam. Mulai ada suara-suara aneh dari bilik-bilik wc. Setelah berpikir beberapa lama, aku akhirnya memutuskan untuk keluar lewat jendela. Di luar dari dugaan, jendela wc ini dikunci. Sudah tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah.

Dan mulailah perasaan-perasaan aneh menyergap pikiranku, Bunda, Giu, Mas Davis, dan... Timo.

Setelah beberapa saat karena kelelahan, aku memutuskan untuk bersender di tembok wc. Yang kurasakan lelah, sakit, sedih, semua campur aduk jadi satu.

“Timo...lagi apa ya sekarang?” pikirku. “Ah, mungkin lagi pacaran sama pacar barunya. Kalau dia jodoh gue, dia bakal nyelamatin gue. Tapi gak akan mungkinlah.”

Setelah mencari-cari posisi yang nyaman akhirnya aku tertidur sambil bersandar di tembok dingin wc. Tak berapa lama ada seseorang yang mendobrak pintu wc Orang itu adalah...

My knight in shining armor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar